Responding
Paper Agama Jain
Paper
ini disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Agama-agama Minor
Dosen
Pembimbing :
Hj.Siti
Nadroh, M.Ag
Disusun Oleh :
Ita Siti Nurhalimah
1110032100012
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
2013
1.
Sejarah
dan perkembangan agama jain
Agama jain
adalah sebuah agama monastic kuno dari india. Agama ini menolak otoritas weda
sebagaimana halnya agama budhha. Agama ini muncul pada zaman wiracarita yakni masa akhir zaman
brahmana, ketika ada perdebatan antara aliran teistis dan non teistis. Menurut
Jhon A Hutchison agama inijuga agama budhha
muncul di zaman heresies (zaman pilihan) yang timbul karena dua alasan,
yang pertama karena waktu itu orang tidak mengakui adanya otoritas sacral Weda.
Kemudian yang kedua yakni pada waktu itu orang menolak batu ujian ortodoksi
hindu yaitu apa yang disebut kasta.[1]
Jainisme sndiri mulai diakui keberadaannya di magadha,
india utara sekitar abad ke-6 dan ke-5 sebelum masehi pada waktu itu mahavira
menyebarkan ajaran-ajarannya. Oleh karena itu mahavira lebih
dikenal sebagai nabi jainisme, bukan penciptanya. Hal ini diperkuat oleh
kenyataan bahwa mahavira dianggap bukan yang paling dulu menyebarkan
ajaran-ajaran jainisme tersebut. Namun diakui bahwa diantara sekian banyak
tirthankara, Mahavira adalah yang paling akhir turun ke Dunia ini. Sehingga
Ialah yang menyampaikan dan menyempurnakan ajaran-ajaran agama jain.[3]
Awal mula dari kemunculan agama jaina
ialah ketika mahavira menyaksikan prilaku kasta brahmana ( Brahmin ) yang
banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan sehingga membuat dia muak pangeran
muda tersebut. Apalgi ketika ia menyaksikan kematian kedua orang tuanya dalam
keadaan lapar padahal mereka hidup dalam kemewahan, itu dilakukan kedua
orangnya Karena dalam ajaran hindu mengatakan kematian dalam keadaan
lapar merupakan suatu kematian yang suci ( holy death ). Setelah kedua
orang tuanya meninggal itulah dia berkata kepada saudaranya :
“ saudara, untuk berkabung atas kemangkatan
ibu-bapak kita, saya berkehendak mengangkat sumpah bahwa dua belas tahun
lamanya saya akan mengabaikan tubuh menahankan bencana apapun yang datang dari
kodrat-kodrat gaib maupun manusia atau-pun hewan “. ( SBE. 22-200 ).
Mahavira melakukan perjalanan
mengembara sebagai seorang kafir, dan bersumpah “ dalam masa 12 tahun terhitung
mulai dari saat ini saya tidak akan mengucapkan sepatah katapun“. Dari sumpah
itu dia mendapatkan banyak pelajaran, diantaranya dia itu lebih baik dari kata.
Mahavira juga tidak membenarkan membunuh apa-apa yang bernyawa. Kemudian
ajaran-ajarannya banyak didukung oleh kalangan raja-raja karena salah satu ajarannya
adalah tidak boleh menyakiti benda-benda yang mempunyai ruh tetapi telah
mewajibkan rakyat agar taat dan setia kepada orang yang memerintah, barang
siapa yang melanggar atau menentang akan disembelih kepalannya. Apalagi
seruannya mengandung sesuatu yang membayangkan isi hati mereka dalam menentang
golongan brahmana. Penyebaran hasil pemikirannya disebar melalui padato-pidato
dan ceramah-ceramah diberbagai kota di india. Dari perjalanannya itu kemudian pengikut jaina lebih kurang satu juta orang dan semuanya
berada di india seperti agama hindu, pada keseluruhannya tata sosial dan pendidikan mereka bersifat tinggi. Sumber-sumber suci dikalangan para pengikut jaina adalah
pidato-pidato mahavira yang dikumpulkan bersama-sama dan dijilid menjadi suatu sumber hukum. Sehingga disetujui bahwa bahasa
kepustakaan suci ini adalah suatu bahasa yang dinamakan “ Ardha Majdi “.
Tatkala timbul niat untuk menjaga dan menyusunnya, maka digunakan bahasa
sanskerta. Kitab tersebut berisikan tentang pesan-pesan dan sumber hukum dari para pengikut agama jaina. Kitab suci Jaina yaitu
“Siddahanta” yang bermakna perintah, ajaran, bimbingan. Kitab suci ini terdiri
ari 12 buah Angas (Bab).[4]
Ia mulai
melakukan meditasi dan merasakan kesengsaraan hidup dengan tujuan mencapai
kebebasan tuntas. Pada tahun ke 13 dari masa pertapanya, ia berhasil memperoleh
pengetahuan agung yang disebut kevala dan berhasil memasuki nirwana pada usia
72 tahun di kota Pavapuri, juga di Behar. Sejak saat itu kota Pavapuri menjadi
pusat ziarah para penganut agama Jain. Hari peringatan tahunan pencerahan agama
Hindu, yang disebut Diwali, dijadikan hari ziarah di kota tersebut, karena
diduga pada hari itu pula Mahavira berhasil mencapai nirwana. Dalam kuil utama
agama Jain di kota ini ditemukan cap-cap kaki Mahavira yang dianggap sakral.[5]
2.Perkembangan Jainisme
Agama jinisme
dikenal di Asia Selatan (India) dan disebarkan oleh Vardamina (546 SM) yang
berasal dari keluarga yang sangat
berkuasa pada masanya. Vardamina selama dua belas tahun hidup menjadi anggota masyarakat
pertapa yang bernama Nirgrantha. Pada tahun ke-13 dalam pengembaraannya
Vardamina mendapatkan ilham atau wahyu penerangan tentang hakikat Tuhan yang
Maha Tahu, yang mengerti akan segala sesuatu yang ada di jagad raya ini baik
yang tersembunyi maupun yang nampak. Dan pada selama tiga puluh tahun kemudian
Vardamina menyiarkan agamanya. Dan setelah Vardamina Mahavira meninggal aliran
jainisme pecah menjadi dua yaitu Svetambara (memakai jubah putih) dan Digambara
(berpakaian langit atau telanjang) perpecahan tersebut terjadi Sekitar tahun 310 SM yakni lebih kurang tiga abad
sepeninggal Mahavira. Perpecahan itu disebabkan musim paceklik di India utara.
Sejumlah 12.000 orang dari jemaat jaina itu dibawah pimpinan Badhrabahu,
melakukan perpindahan menuju ke belahan selatan India, berdiam dan menetap
dalam wilayah Mysore. Dengan begitu jemaat terpecah menjadi dua, yaitu belahan
utara dan belahan selatan. Belahan utara beriklim dingin dan be;lahan selatan
beriklim panas. Di dalam wilayah yang beriklim panas itu, pakaian tidak
diperlukan. Sedangkan di belahan utara lebih mengutamakan bertarak dan bertapa
tetapi perpecahan itu belum resmi.
Kemudian
Sekitar tahun 82 Masehi perpecahan itu menjadi resmi dan disebabkan masalah
pakaian. Jemaat yang mendiami di belahan utara pegunungan vindaya selalu
mengenakan pakaian putih, dan jemaat ini yang disebut dengan sekte svetambara
(jemaat berpakaian putih). Sedangkan jemaat yang mendiami di belahan selatan
pegunungan vindaya tidak mengenakan pakaian sehelai benang pun karena beriklim
panas. Jemaat itu disebut dengan digambara (jemaat bertelanjang bugil bagaikan
langit).
Masalah
pakaian itu lantas menjadi masalah keagamaan yang meruncing sangat tajam antara
kedua sekte. Sekte digambara itu beralaskan sikap hidup Mahavira didalam
pengembaraannya, yang tidak peduli terhadap kebutuhan duniawi. Tetapi sejak
abad ke 7 M, yakni semenjak anak benua India itu berada dibawah kekuasaan
islam. Maka jemaat digambara mulai dipaksakan mengenakan pakaian, setidaknya
mengenakan celana dalam.
Selain
itu Persentuhan agama Jaina dengan agama Islam juga menjadi bagian dari
perkembangan agama jain. Persentuhan keduanya pada anak benua India itu lambat
laun menimbulkan pengaruh dalam lingkungan agama Jaina itu. Pada tahun 1474 M lahir suatu sekte baru, yaitu Stanavaksi. Ini muncul dari lingkungan
sekte Svetambara pada belahan India Utara. Sekte ini merupakan gerakan
reformasi dalam agama Jaina, yakni gerakan pembaharuan. Mereka berusaha
mendalami dan menyelidiki kitab suci Siddanta (agama) itu, lalu memisahakan
angas yang dapat dipandang otentik dan angas yang dipandang susunan pada masa
belakangan. Di dalam angas yang dipandang otentik itu tidak dijumpai pemujaan
terhadap patung dan berhala. Justru kuil-kuil yang menjadi milik jemaat
Sthanavaksi itu, sampai kepada masa sekarang ini, tidak berhiaskan patung
apapun juga.[6]
3.Ajaran dan praktik kegamaan
A.Kitab Suci
sumber-sumber
suci dikalangan para pengikut agam jaina adalah pidatdo-pidato mahavira.
Kemudian pidato-pidato mahavira ini diteriam oleh para pengikutnya seperti para
murid-muridnya,orang-orang arif,pendeta-pendeta dan para ahli ibadah. Sumber
kepustakaan suci ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Lalu
dikarenakan takut ajaran-ajarn ini hilang dan bercampur dengan ajaran-ajaran
yang lain maka pada abad ke-4 SM namun ada juga yang menyebut pada130 SM, para
penganut jaina mengadakan pertemuan dibandar patli putra, untuk mengumpulkan
naskah-naskah suci untuk dijilid manjadi satu. Dan kemudian kitab suci ini
diberi nama siddhanta, yang menjadi ajaran pokok agama jaina. Dan bahasa yang
digunakan dalam kitab ini adalah bahasa ardha majdi atau prakit. Namun bahasa
tersebut hanya digunakan pada abad-abad sebelum masehi, setelah masehi untuk
menjaga isinya kitab tersebut diganti bahasanya menjadi bahasa sansekerta.[7]
Sedangkan
kitab siddhanta sendiri terdiri dari 12 anggas sebelumnya, semua itu adalah
himpunan yang terdiri dari pidato-pidato mahvira. Namun anggas yang kedua belas
telah lenyap sampai kini,tidak bisa diketemukan lagi. Namun tentang jumlah
anggas seluruhnya, yang merupakan bagian dari kitab suci dijumpai perbedaan
pendirian diantara sekte-sekte didalam agama jaina itu. Seperti sekte digambara
mengakui ada 80 anggas dari bagian kitab suci agama jaina sedangkan sekte
swetambara mengakui hanya 45 anggas saja. Sedangkan gerakan reformasi agama
jaina hanya 33 anggas saja.[8]
B.System
kepercayaan agama jain
1.
Konsepsi tentang tuhan
Agama jain atau
jainisme menolak adanya tuhan yang dianggap sebagai pencipta atau penguasa
dunia ini. Walaupun demikian menurut hut chison, paham jainisme tidak termasuk
atheis, melainkan disebut non-teisme. Penyebutan ini didasarkan pada corak paha
agama tersebut tentang apa yang disebut tuhan. Agama jain mengakui keberadaan
apa yang disebut sang “Maha Kuat”, namun mengatakan bahwa sang maha kuat
tersebut termasuk pula manusia, semuanya terbelenggu dalam alam dosa dengan
sedikit atau tanpa ada kesempatan untuk melarikan diri darinya.[9]
2.
Konsepsi tentang alam
Jainisme
menganut filsafat dualisme, yaitu membagi alam saemesta ini menjadi dua
kategori: zat yang hidup (jiva) dan zat yang tidak hidup (ajiva). Ajiva
memiliki lima substansi yaitu benda (pudgala), dharma, adharma, ruang (akasa)
dan waktu (kala). Unsure jiva dan keenam unsure ajiva tersebut disebut denga
enam dravya.
Menurut agama ajarang agama jain substansi jiva
dan ajiva adalah kekal, tidak diciptakan, tidak ada permulaan dan tidak
berakhir. Atau dengan kata lain tidak ada sebab pertama yang
menyebabkan terjadinya substansi-substansi tersebut.
Kemudian selain
pembagian menurut kedua kategori tersebut, maka dari sudut pandang lain
berbeda, substansi-substansi tersebut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi dua
yakni astikaya dan nastikaya.[10]
Menurut
kosmologi jainisme alam semesta ini adalah abadi, alam semesta ini bergerak
melalui satu lingkaran terus-menerus dari stau tempat yang ideal menuju kearah
titik bawah lalu dilanjutkan menaik lagi melalui titik atas dan begitu
seterusnya. Menurut agama jain alam semesta ini bergerak bukan karena adanya
tuhan melainkan bergerak secara mekanistis belaka.[11]
3.
Konsepsi tentang karma
Menurut
jainisme karma adalah energy jiwa yang dengan energy itu menyebabkan
penggabungan jiwa dan benda dan kekotoran berikutnya dari jiwa itu. Menurut
jain karma bisa dibersihkan, prose pembersihan karma disebut dengan nirjana,
jika proses nirjana ini berjalan terus tanpa rintagan maka pada akhirnya semua
karma akan tercabut dari jiwa dan akan mencapai tujuan utama hidup.[12]
Tujuan
utama dari orang Jain adalah menjadi seorang Paramatman, satu jiwa yang
sempurna. Ini akan dicapai ketika semua lapisan karma, yang dianggap sebagai
substansi, dibuang, yang memungkinkan jiwa muncul ke atas sampai di
langit-langit alam semesta, dari kegelapan kepada cahaya, dimana, di luar
Dewa-dewa dan perpindahan jiwa yang sedang terjadi, jiwa tinggal selamanya
dalam kebahagiaan yang sunyi dari moksha. Moksha didefiniskan dalam Agama Jain
sebagai pembebasan, penyatuan diri (self-unity) dan integrasi, kesendirian yang
murni dan ketenangan yang abadi, bebas dari tindakan dan keinginan, bebas dari
karma dan kelahiran kembali. Moksha dapat dicapai dalam hidup ini atau pada
waktu setelah mati. Ketika ia dicapai, manusia telah memenuhi tujuannya sebagai
manusia-Tuhan (man-God). Bagi agama Jain tidak ada Tuhan pencipta dan, karena
itu, tidak ada persatuan dengan Tuhan. Hakikat dari jiwa adalah kesadaran
murni, kekuatan, kebahagiaan dan maha tahu.[13]
4.
Pandangan tentang pencerahan
Menurut agama
jain jiwa yang telah mencapai kesempurnaan atau pencerahan menyebabkan
pemiliknya mencapai tingkat kesalehan dan kesempurnaan dari luar. Sebagai
contoh para tirthankara yang kesemuanya telah diakui berhasil mencapai
kesempurnaan itu. Kemudian orang yang telah mencapai kesempurnaan jua akan
dapat menikmati empat macam atribut yakni persepis yyang tak terbatas,
pengetahuan yang tak terbatas, kekuatan yang tak terbatas dan kebahagiaan yang
tak terbatas. Kesempurnaan jiwa seperti ini dapat dirasa ketika dia amsih hidup
atau sudah mati.[14]
5.
Tentang Epsitemologi
Dalam aspek
epistemologi, jaina menolak pandangan carvaka bahwa persepsi hanyalah
satu-satunya sumber valid munculnya pengetahuan. Jika kita menolak kemungkinan
memperoleh pengetahuan benar melalui inferensi dan testimoni orang lain, kita
semestinya meragukan validitas persepsi, karena sekalipun persepsi
kadang-kadang bisa bersifat ilusi. Padahal carvaka sendiri memakai inferensi
(anumana) ketika mengatakan bahwa semua inferensi adalah invalid, dan juga
ketika mereka menolak eksistensi objek-objek karena mereka tidak dilihat.
Disamplng persepsi, jaina menerima inferensi dan testimony (sabda) sebagai
sumber pengatahuan valid. Inferensi menberikan pengetahuan valid ketika ia
mengikuti kaidah-kaidah logis yang tepat. Testimoni valid ketika ia merupakan
laporan otoritas terpercaya. Atas otoritas ajaran-ajaran orang-orang sucu yang
telah terbebaskan (jaina atau tirthankara) orang-orang pengikut ajaran ini
mendapatkan pengetahuan yang benar yang tidak dapat diperoleh oleh orang yang
masih terbatas. Testimoni Tirthankara ini tidak diragukan lagi ke-validan-nya.[15]
6.
Jaina percaya dengan pluralisme roh; terdapat
roh-roh sebanyak tubuh hidup yang ada. Tidak hanya roh dalam binatang, tetapi
juga tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu. Hal ini juga diterima dalam ilmu
pengetahuan moderen. Semua roh tidak secara sama memilki kesadaran, ada yang
lebih tinggi ada yang lebih rendah. Semaju apapun indria-indrinya, roh
terbelenggu dalam pengetahuan y6ang terbatas; juga terbatas dalam tenaga dan
mengalami segala jenis penderitaan.Tetapi setiap roh mampu mencapai kesadaran
tak terbatas, kekuatan dan kebahagian. Mereka dihalangi oleh karma, seperti
matahari dihalangi oleh awan. Karma dapat menyebabkan belenggu roh. Dengan
menyingkirkan karma roh dapat memindahkan belenggu dan mendapatkan kesempurnaan
alamiah.[16]
Tiga
cara menyingkirkan belenggu, yaitu keyakinan yang sempurna dalam ajaran-ajaran
guru-guru jaina, pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut, dan perilaku
yang benar. Perilaku benar terdiri atas praktek tidak menyakiti atau melukai
seluruh makhluk hidup, menghidari kesalahan, mencuri, sensualitas, dan
kemelakatan objek-objek indriya, mengkombinasikan ketiganya di atas, perasaan
akan dikendalikan dan karma yang membelenggu roh akan disingkirkan. Lalu, roh
mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas, pengetahuan tak terbatas,
dan kebahagian yang tak terbatas. Inilah keadaan miksa menurut ajaran jaina.
Hal ini telah dibukatikan oleh guru-guru dalam tradisi jaina atau Tirthankara.
Mereka memperlihatkan jalan menuju moksa.[17]
7.
Tentang Metafisika
Di dalam aspek
metafisikanya, jainisme mengambil posisi realistik dan pluralism relativistik.
Ia disebut atau doktrin pluralistik realitas. Material dan spirit dipandang
sebagai realitas-realitas yang independen dan terpisah. Terdapat atom-atom
material yang tak terhitung jumlahnya dan roh-roh individu aspek-aspek dirinya
yang juga tak terhitung jumlahnya. Sebuah benda mempunyai karakteristik yang tak
hingga jumlahnya . setiap objek mempunyai karakter positif dan negative yang
tak terhitung jumahnya. Adalah tak mungkin bagi manusia biasa untuk mengetahui
semuanya itu. Kita hanya tahu sebagian kecil saja.
Praktek Keagamaan dalam Jainisme
A.
Asketisme
Menurut jai nada dua motif melakukan kehidupan asketik, pertama
bahwa kehidupan asketik dianggap sebagai salah satu macam atletikisme spiritual
yaitu latihan spiritual para atlit menjelang pertandingan. Kedua, bahwa
kehidupan asketik itu menempatkan prinsip serba dua antara materi dan spirit
(jiwa). Alu mencari cara untuk membebaskan jiwa yang terkurung dalam daging.
Jainisme sangantmementingkan asketisme. Hal ini diandaikan sebagai
perjuangan mahavira untu memperoleh pengetahuan agungng. Karena itu sifat asketik
jainisme menjadi bgitu kstrim dan ketat.
B.
Etika
penganut agama Jain
Masyarakat jainisme terdiri atas pendeta, biara
dan orang kebanyakan. Hanya ada lima disiplin spiritual didalam jainisme. Di
dalam kasus kependetaan disiplin ini benar-baner ketat, kaku dan sangat
fanatik. Sementara dalam kasus orang umum hal itu bisa di modifikasi. Kelima
sumpah disebut “sumpah besar” (maha-vrta), sementara bagi orang umum disebut
‘sumpah kecil’ (anu-vrta). Kelima sumpah tersebut adalah (1) ahimsa (non
kekerasan), (2) satya (kebenaran di dalam pikiran), (3) asteya (tidak mencuri),
(4) brahmacharya (berpantang dari pemenuhan nafsu baik pikiran, perkataan
maupun perbuatan), dan (5) aparigraha (ketakmelekatan dengan pikiran, perkataan
dan prbuatan). Dalam halo rang umum, aturan ini bisa di modifikasi dan
disederhanakan.[18]
Untuk orang awam ada 12 atauran yang semula
berasal dari aturan pendeta. Keduabelas aturan tersebut adalah
1.
Tidak pernah menyengaja melenyapkan kehidupan
dari makhluk ang berorgan indra
2.
Tidak pernah berbohong
3.
Tidak mencuri
4.
Tidak berzina
5.
Tidak tamak
6.
Menghindari godaan-godaan
7.
Membatasi jumlah barang yang dipakai
sehari-hari
8.
Menjaga hal yang berlawanan dengan usaha untuk
menghindari dari kesalahan-kesalahan
9.
Menjaga periode-periode meditasi yang telah
dicapai
10.
Mengamati periode-periode penolakan diri
11.
Memanfaatkan periode-periode kesempatan menjadi
pendeta
12.
Member sedekah
Umat awam juga
memegag prinsip ahimsa, dengan melakukan diet vegetarian dan selanjutnya
melarang diri makan telor.
[1]
Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALI JAGA
PRESS, 1988)h, 151
[2] http://abid3011.blogspot.com/2011/04/agama-jaina.html
diakses tgl 21 maret 2013
[3]
Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, h. 15153
[4] Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, diakses pada tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[5]
Mukti Ali, Agama-Agama Dunia,
Yogyakarta: Hanindita offset, 1988, cet l, h. 151-152
[6]
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di
Dunia, h 140-141
[13] http://www.iloveblue.com/agama-jain/
[15]
I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, (Denpasar: Mabhakti, 2003), h
315-16
[16]
Ibid, h. 18
[17]
Ibid, h. 320
[18]
I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 319.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar