Senin, 17 Juni 2013

Makalah Agama jain


Agama Jain
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah
“Agama-agama Minor”

Dosen Pembimbing : Hj.Siti Nadroh, M.Ag




Disusun Oleh :


Zaimah Imamatul B
1110032100023

IIs Sholihah
1110032100025



Description: D:\Picture\Logo\logo uin jakarta.jpg

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA VI/A
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
1.      Sejarah dan perkembangan agama jain
Agama jain adalah sebuah agama monastic kuno dari india. Agama ini menolak otoritas weda sebagaimana halnya agama budhha. Agama ini muncul  pada zaman wiracarita yakni masa akhir zaman brahmana, ketika ada perdebatan antara aliran teistis dan non teistis. Menurut Jhon A Hutchison agama inijuga agama budhha  muncul di zaman heresies (zaman pilihan) yang timbul karena dua alasan, yang pertama karena waktu itu orang tidak mengakui adanya otoritas sacral Weda. Kemudian yang kedua yakni pada waktu itu orang menolak batu ujian ortodoksi hindu yaitu apa yang disebut kasta.[1]
Mengenai sejarahnya, Agama Jaina bermakna : agama Penaklukan. Yang dimaksudkan penaklukan adalah penaklukan kodrat-kodrat Syahwati dalam tata hidup manusiawi[2], sebenarnya ajaran agama jain ini telah lahir sejak dulu, agama jain mengakui bahwa ada 24 Thirtankara atau jiwa sempurna yang kesemuanya dipercayai telah menyebarkan ajaran agama jain keseluruh dunia[3] dari dua puluh empat thirtankara tersebut, Vardhamana atau yang dikenal dengan Mahavira yakni Thirtankara yang ke 24 adalah tokoh jainisme yang paling dikenal dan para penganut agama jain merasa ajaran jain telah cukup sempurana tatkala ditangannya.[4]
Jainisme sndiri mulai diakui keberadaannya di magadha, india utara sekitar abad ke-6 dan ke-5 sebelum masehi pada waktu itu mahavira menyebarkan ajaran-ajarannya. Oleh karena itu mahavira lebih dikenal sebagai nabi jainisme, bukan penciptanya. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa mahavira dianggap bukan yang paling dulu menyebarkan ajaran-ajaran jainisme tersebut. Namun diakui bahwa diantara sekian banyak tirthankara, Mahavira adalah yang paling akhir turun ke Dunia ini. Sehingga Ialah yang menyampaikan dan menyempurnakan ajaran-ajaran agama jain.[5]
 Agama Jaina sendiri lahir berdasarkan reaksi dari ketiak setujuannya terhadap ajaran-ajaran agama Hindu, maka pada saat itu terjadi pemberontakan besar terhadap agama Hindu yang dipimpin oleh Mahavira. Mahavira lahir pada tahun 599 SM, ayahnya bernama Sidarta yang merupakan seorang anggota dalam majelis yang memerintah Bandar atau kesatuan ketentaraan di india. Ibunya merupakan anak dari ketua majelis itu yang bernama Tri Sala.[6] Mahavira dilahirkan di wilayah republik Vaisali (Behar), di kampung Basarh, kira-kira 27 mil di sebelah utara kota Patna.[7]
Sejak kecil Mahavira sangat gemar mengikuti majelis-majelis dan ahli-ahli agama yang mana memang tinggal atau menumpang diwilayah kerajaannya. Sebenarnya ia ingin mendalami ilmu-ilmu agama atau ketuhanan, akan tetapi keadaan tidak dapat mengizinkannya mendalami agama tersebut karena kedudukan keluargannya yang mengurus hal-hal politik dan peperangan serta hidup dalam kesenangan dan kemewahan. Nama mahavira sendiri bukan nama asli dia, nama aslinya adalah “vhardamana”. Dia dipanggil mahavira itu sendiri setelah ada kejadian dimana pada suatu ketika ada seekor gajah yang terlepas dari kandangnya kemudian merusak apa-apa yang menghalangi jalanya dia, tidak ada satu-pun orang yang bisa menangkap dan menjinakan hewan itu. Dan ketika sedang bermain vhardamana melihat gajah tersebut dan dia langsung menangkapnya dan menjinakannya padahal usiannya baru 7 tahun. Akhirnya rakyat kerajaan Moghadah amat memujikan keberanian pangeran muda itu, sejak itu-pun dia dipanggil Mahavira (perwira perkasa). Dia juga dinamakan jaina yang berarti ‘gagah perkasa’ dan dengan sifat itulah agama tersebut diberi nama agama jaina. Dia menikah dengan puteri yasodha dan dikarunia satu orang anak.[8] Anak Mahavira diberi nama Anoja.[9]
Awal mula dari kemunculan agama jaina ialah ketika mahavira menyaksikan prilaku kasta brahmana  ( Brahmin ) yang banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan sehingga membuat dia muak pangeran muda tersebut. Apalgi ketika ia menyaksikan kematian kedua orang tuanya dalam keadaan lapar padahal mereka hidup dalam kemewahan, itu dilakukan kedua orangnya Karena dalam ajaran hindu mengatakan kematian dalam keadaan lapar  merupakan suatu kematian yang suci ( holy death ). Setelah kedua orang tuanya meninggal itulah dia berkata kepada saudaranya :
               “ saudara, untuk berkabung atas kemangkatan ibu-bapak kita, saya berkehendak mengangkat sumpah bahwa dua belas tahun lamanya saya akan mengabaikan tubuh menahankan bencana apapun yang datang dari kodrat-kodrat gaib maupun manusia atau-pun hewan “. ( SBE. 22-200 ).
Mahavira melakukan perjalanan mengembara sebagai seorang kafir, dan bersumpah “ dalam masa 12 tahun terhitung mulai dari saat ini saya tidak akan mengucapkan sepatah katapun“. Dari sumpah itu dia mendapatkan banyak pelajaran, diantaranya dia itu lebih baik dari kata. Mahavira juga tidak membenarkan membunuh apa-apa yang bernyawa. Kemudian ajaran-ajarannya banyak didukung oleh kalangan raja-raja karena salah satu ajarannya adalah tidak boleh menyakiti benda-benda yang mempunyai ruh tetapi telah mewajibkan rakyat agar taat dan setia kepada orang yang memerintah, barang siapa yang melanggar atau menentang akan disembelih kepalannya. Apalagi seruannya mengandung sesuatu yang membayangkan isi hati mereka dalam menentang golongan brahmana. Penyebaran hasil pemikirannya disebar melalui padato-pidato dan ceramah-ceramah diberbagai kota di india. Dari perjalanannya itu kemudian pengikut jaina lebih kurang satu juta orang dan semuanya berada di india seperti agama hindu, pada keseluruhannya tata sosial dan pendidikan mereka bersifat tinggi. Sumber-sumber suci dikalangan para pengikut jaina adalah pidato-pidato mahavira yang dikumpulkan bersama-sama dan dijilid menjadi suatu sumber hukum. Sehingga disetujui bahwa bahasa kepustakaan  suci ini adalah suatu bahasa yang dinamakan “ Ardha Majdi “. Tatkala timbul niat untuk menjaga dan menyusunnya, maka digunakan bahasa sanskerta. Kitab tersebut berisikan tentang pesan-pesan dan sumber hukum dari para pengikut agama jaina. Kitab suci Jaina yaitu “Siddahanta” yang bermakna perintah, ajaran, bimbingan. Kitab suci ini terdiri ari 12 buah Angas (Bab).[10]
Ia mulai melakukan meditasi dan merasakan kesengsaraan hidup dengan tujuan mencapai kebebasan tuntas. Pada tahun ke 13 dari masa pertapanya, ia berhasil memperoleh pengetahuan agung yang disebut kevala dan berhasil memasuki nirwana pada usia 72 tahun di kota Pavapuri, juga di Behar. Sejak saat itu kota Pavapuri menjadi pusat ziarah para penganut agama Jain. Hari peringatan tahunan pencerahan agama Hindu, yang disebut Diwali, dijadikan hari ziarah di kota tersebut, karena diduga pada hari itu pula Mahavira berhasil mencapai nirwana. Dalam kuil utama agama Jain di kota ini ditemukan cap-cap kaki Mahavira yang dianggap sakral.[11]
Perkembangan Jainisme
Telah disebutkan di atas bahwa penyebaran hasil pemikiran Mahavira disebar melalui padato-pidato dan ceramah-ceramah diberbagai kota di india. Dari perjalanannya itu kemudian pengikut jaina lebih kurang satu juta orang dan semuanya berada di india seperti agama hindu, pada keseluruhannya tara sosial dan penidikan mereka bersifat tinggi.[12]
Dewasa ini ada lebih dari 8 juta pengikut agama ini. Mereka terutama ditemukan di India. Secara sosial, biasanya para penganut Jainisme termasuk golongan menengah ke atas. Agama Jaina itu mewariskan bangunan-bangunan kuil yang amat terkenal keindahan arsitekturnya di India dan senantiasa dikunjungi wisatawan.[13]
Agama jinisme dikenal di Asia Selatan (India) dan disebarkan oleh Vardamina (546 SM) yang berasal dari keluarga yang  sangat berkuasa pada masanya. Vardamina selama dua belas tahun hidup menjadi anggota masyarakat pertapa yang bernama Nirgrantha. Pada tahun ke-13 dalam pengembaraannya Vardamina mendapatkan ilham atau wahyu penerangan tentang hakikat Tuhan yang Maha Tahu, yang mengerti akan segala sesuatu yang ada di jagad raya ini baik yang tersembunyi maupun yang nampak. Dan pada selama tiga puluh tahun kemudian Vardamina menyiarkan agamanya. Dan setelah Vardamina Mahavira meninggal aliran jainisme pecah menjadi dua yaitu Svetambara (memakai jubah putih) dan Digambara (berpakaian langit atau telanjang) perpecahan tersebut terjadi Sekitar tahun 310 SM yakni lebih kurang tiga abad sepeninggal Mahavira. Perpecahan itu disebabkan musim paceklik di India utara. Sejumlah 12.000 orang dari jemaat jaina itu dibawah pimpinan Badhrabahu, melakukan perpindahan menuju ke belahan selatan India, berdiam dan menetap dalam wilayah Mysore. Dengan begitu jemaat terpecah menjadi dua, yaitu belahan utara dan belahan selatan. Belahan utara beriklim dingin dan be;lahan selatan beriklim panas. Di dalam wilayah yang beriklim panas itu, pakaian tidak diperlukan. Sedangkan di belahan utara lebih mengutamakan bertarak dan bertapa tetapi perpecahan itu belum resmi.
Kemudian Sekitar tahun 82 Masehi perpecahan itu menjadi resmi dan disebabkan masalah pakaian. Jemaat yang mendiami di belahan utara pegunungan vindaya selalu mengenakan pakaian putih, dan jemaat ini yang disebut dengan sekte svetambara (jemaat berpakaian putih). Sedangkan jemaat yang mendiami di belahan selatan pegunungan vindaya tidak mengenakan pakaian sehelai benang pun karena beriklim panas. Jemaat itu disebut dengan digambara (jemaat bertelanjang bugil bagaikan langit).
Masalah pakaian itu lantas menjadi masalah keagamaan yang meruncing sangat tajam antara kedua sekte. Sekte digambara itu beralaskan sikap hidup Mahavira didalam pengembaraannya, yang tidak peduli terhadap kebutuhan duniawi. Tetapi sejak abad ke 7 M, yakni semenjak anak benua India itu berada dibawah kekuasaan islam. Maka jemaat digambara mulai dipaksakan mengenakan pakaian, setidaknya mengenakan celana dalam.
Selain itu Persentuhan agama Jaina dengan agama Islam juga menjadi bagian dari perkembangan agama jain. Persentuhan keduanya pada anak benua India itu lambat laun menimbulkan pengaruh dalam lingkungan agama Jaina itu. Pada tahun 1474 M lahir suatu sekte baru, yaitu Stanavaksi. Ini muncul dari lingkungan sekte Svetambara pada belahan India Utara. Sekte ini merupakan gerakan reformasi dalam agama Jaina, yakni gerakan pembaharuan. Mereka berusaha mendalami dan menyelidiki kitab suci Siddanta (agama) itu, lalu memisahakan angas yang dapat dipandang otentik dan angas yang dipandang susunan pada masa belakangan. Di dalam angas yang dipandang otentik itu tidak dijumpai pemujaan terhadap patung dan berhala. Justru kuil-kuil yang menjadi milik jemaat Sthanavaksi itu, sampai kepada masa sekarang ini, tidak berhiaskan patung apapun juga.[14]
2.      Ajaran dan praktik kegamaan
A.    Kitab Suci
sumber-sumber suci dikalangan para pengikut agam jaina adalah pidatdo-pidato mahavira. Kemudian pidato-pidato mahavira ini diteriam oleh para pengikutnya seperti para murid-muridnya,orang-orang arif,pendeta-pendeta dan para ahli ibadah. Sumber kepustakaan suci ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Lalu dikarenakan takut ajaran-ajarn ini hilang dan bercampur dengan ajaran-ajaran yang lain maka pada abad ke-4 SM namun ada juga yang menyebut pada130 SM, para penganut jaina mengadakan pertemuan dibandar patli putra, untuk mengumpulkan naskah-naskah suci untuk dijilid manjadi satu. Dan kemudian kitab suci ini diberi nama siddhanta, yang menjadi ajaran pokok agama jaina. Dan bahasa yang digunakan dalam kitab ini adalah bahasa ardha majdi atau prakit. Namun bahasa tersebut hanya digunakan pada abad-abad sebelum masehi, setelah masehi untuk menjaga isinya kitab tersebut diganti bahasanya menjadi bahasa sansekerta.[15]
Sedangkan kitab siddhanta sendiri terdiri dari 12 anggas sebelumnya, semua itu adalah himpunan yang terdiri dari pidato-pidato mahvira. Namun anggas yang kedua belas telah lenyap sampai kini,tidak bisa diketemukan lagi. Namun tentang jumlah anggas seluruhnya, yang merupakan bagian dari kitab suci dijumpai perbedaan pendirian diantara sekte-sekte didalam agama jaina itu. Seperti sekte digambara mengakui ada 80 anggas dari bagian kitab suci agama jaina sedangkan sekte swetambara mengakui hanya 45 anggas saja. Sedangkan gerakan reformasi agama jaina hanya 33 anggas saja.[16]
B.     System kepercayaan agama jain
1.      Konsepsi tentang tuhan
Agama jain atau jainisme menolak adanya tuhan yang dianggap sebagai pencipta atau penguasa dunia ini. Walaupun demikian menurut hut chison, paham jainisme tidak termasuk atheis, melainkan disebut non-teisme. Penyebutan ini didasarkan pada corak paha agama tersebut tentang apa yang disebut tuhan. Agama jain mengakui keberadaan apa yang disebut sang “Maha Kuat”, namun mengatakan bahwa sang maha kuat tersebut termasuk pula manusia, semuanya terbelenggu dalam alam dosa dengan sedikit atau tanpa ada kesempatan untuk melarikan diri darinya.[17]
Para pakar telah mencoba meneliti mengapa jainisme menolak tuhan, namun mereka baru memperkirakan saja mengenai sebab tersebut. Yakni yang pertama. Jainisme merasa tuhan-tuhan itu tidak ada perlunya karena manusia sendiri mampu mencapai kelepasan melalui kekuatannya sendiri tanpa harus bergantung secara neurotic terhadap kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya. Kedua, karena tuhan-tuhan itu malah seolah-olah dianggap sebagai hal yang dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip irasional.[18]
Sebab lainnya yang perlu dopertimbangkan adalah latar belakang krisis politik dan kemerosotan kemasyarakatan pada saat itu. Kemudian Pentingnya upacara korban dan pentingnya kedudukan para Brahmana sebagai tulang punggung sistem kasta.[19]
2.      Konsepsi tentang alam
Jainisme menganut filsafat dualisme, yaitu membagi alam saemesta ini menjadi dua kategori: zat yang hidup (jiva) dan zat yang tidak hidup (ajiva). Ajiva memiliki lima substansi yaitu benda (pudgala), dharma, adharma, ruang (akasa) dan waktu (kala). Unsure jiva dan keenam unsure ajiva tersebut disebut denga enam dravya.
Menurut agama ajarang agama jain substansi jiva dan ajiva adalah kekal, tidak diciptakan, tidak ada permulaan dan tidak berakhir. Atau dengan kata lain tidak ada sebab pertama yang menyebabkan terjadinya substansi-substansi tersebut.
Kemudian selain pembagian menurut kedua kategori tersebut, maka dari sudut pandang lain berbeda, substansi-substansi tersebut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi dua yakni astikaya dan nastikaya.[20]
Menurut kosmologi jainisme alam semesta ini adalah abadi, alam semesta ini bergerak melalui satu lingkaran terus-menerus dari stau tempat yang ideal menuju kearah titik bawah lalu dilanjutkan menaik lagi melalui titik atas dan begitu seterusnya. Menurut agama jain alam semesta ini bergerak bukan karena adanya tuhan melainkan bergerak secara mekanistis belaka.[21]
3.      Konsepsi tentang karma
Jainisme tetap menerima ajaran tentang karma-samsara dalam pemikiran tradisional india, dan mengajarkan bahw karma terjadi karena tercampurnya jiva dan ajiva. Konsep karma dalam jainisme  berpangkal pada prinsip dualism antara jiwa dan benda, atas dasra prinsip tersebut, menurut jainisme tubuh manusia itu memenjarakan jiwanya.
Menurut jainisme karma adalah energy jiwa yang dengan energy itu menyebabkan penggabungan jiwa dan benda dan kekotoran berikutnya dari jiwa itu. Menurut jain karma bisa dibersihkan, prose pembersihan karma disebut dengan nirjana, jika proses nirjana ini berjalan terus tanpa rintagan maka pada akhirnya semua karma akan tercabut dari jiwa dan akan mencapai tujuan utama hidup.[22]
Tujuan utama dari orang Jain adalah menjadi seorang Paramatman, satu jiwa yang sempurna. Ini akan dicapai ketika semua lapisan karma, yang dianggap sebagai substansi, dibuang, yang memungkinkan jiwa muncul ke atas sampai di langit-langit alam semesta, dari kegelapan kepada cahaya, dimana, di luar Dewa-dewa dan perpindahan jiwa yang sedang terjadi, jiwa tinggal selamanya dalam kebahagiaan yang sunyi dari moksha. Moksha didefiniskan dalam agama Jain sebagai pembebasan, penyatuan diri (self-unity) dan integrasi, kesendirian yang murni dan ketenangan yang abadi, bebas dari tindakan dan keinginan, bebas dari karma dan kelahiran kembali. Moksha dapat dicapai dalam hidup ini atau pada waktu setelah mati. Ketika ia dicapai, manusia telah memenuhi tujuannya sebagai manusia-Tuhan (man-God). Bagi agama Jain tidak ada Tuhan pencipta dan, karena itu, tidak ada persatuan dengan Tuhan. Hakikat dari jiwa adalah kesadaran murni, kekuatan, kebahagiaan dan maha tahu.[23]
4.      Pandangan tentang pencerahan
Tujuan akhir dari ajaran jain adalah untuk mencapai kehidupan yang sempurna memperoleh pengetahuan tentang pencerahan dan akhirnya moksa yakni terlepas dari siklus kelahiran kembali.
Menurut agama jain jiwa yang telah mencapai kesempurnaan atau pencerahan menyebabkan pemiliknya mencapai tingkat kesalehan dan kesempurnaan dari luar. Sebagai contoh para tirthankara yang kesemuanya telah diakui berhasil mencapai kesempurnaan itu. Kemudian orang yang telah mencapai kesempurnaan jua akan dapat menikmati empat macam atribut yakni persepis yyang tak terbatas, pengetahuan yang tak terbatas, kekuatan yang tak terbatas dan kebahagiaan yang tak terbatas. Kesempurnaan jiwa seperti ini dapat dirasa ketika dia amsih hidup atau sudah mati.[24]
5.      Tentang Epsitemologi
Dalam aspek epistemologi, jaina menolak pandangan carvaka bahwa persepsi hanyalah satu-satunya sumber valid munculnya pengetahuan. Jika kita menolak kemungkinan memperoleh pengetahuan benar melalui inferensi dan testimoni orang lain, kita semestinya meragukan validitas persepsi, karena sekalipun persepsi kadang-kadang bisa bersifat ilusi. Padahal carvaka sendiri memakai inferensi (anumana) ketika mengatakan bahwa semua inferensi adalah invalid, dan juga ketika mereka menolak eksistensi objek-objek karena mereka tidak dilihat. Disamplng persepsi, jaina menerima inferensi dan testimony (sabda) sebagai sumber pengatahuan valid. Inferensi menberikan pengetahuan valid ketika ia mengikuti kaidah-kaidah logis yang tepat. Testimoni valid ketika ia merupakan laporan otoritas terpercaya. Atas otoritas ajaran-ajaran orang-orang sucu yang telah terbebaskan (jaina atau tirthankara) orang-orang pengikut ajaran ini mendapatkan pengetahuan yang benar yang tidak dapat diperoleh oleh orang yang masih terbatas. Testimoni Tirthankara ini tidak diragukan lagi ke-validan-nya.[25]
Jaina mengklasifikasikan pengetahuan menjadi, pengetahuan langsung (aparoksa) dan pengetahuan antara (paroksa). Pengetahuan langsung lebih lanjut lagi dibagi lagi menjadi avadhi, manahparyaya dan kepala; dan pengetahuan antara menjadi mati dan sruta. Mati mencakup pengetahuan perseptual dan inferensial. Sruta berarti pengetahuan yang diambil dari otoritas. Avadhi-jnana, manahparyaya-jnana, dan kevala-jnana merupakan tiga jenis pengetahuan langsung yang bisa dikatakan sebagai persepsi ekstra biasa dan ekstra sensori avadhi adalah kemampuan melihat hal-hal yang tidak Nampak oleh indra; manahparyaya adalah telepathi; dan kevala adalah kemahatahuan. Disamping kelima pengetahuan benar tersebut diatas, ada juga tiga pengetahuan salah, yaitu samshaya atau keragu-raguan, viparyaya atau kesalahan dan anandhyavasaya atau pengetahuan salah melalui kesamaan.[26]
Pengetahuan lagi dibagi menjadi dua jenis, yaitu pramana atau pengetahuan tentang suatu benda seperti apa adanya, dan naya atau pengetahuan tentang suatu benda didalam hubungannya dengan yang lainnya. Naya berarti titik pandang atau pendapat dari mana kita membuat pernyataan tentang sesuatu . Semua kebenaran adalah relativ terhadap pandangan kita. Pengetahuan parsial merupakan salah satu aspek yang takterhitung banyaknya tentang suatu benda disebut  “naya” . Terdapat tujuh naya yang empat pertama adalah artha-naya, kemudian tiga terakhir disebut sabda-naya.[27]
6.      Jaina percaya dengan pluralisme roh; terdapat roh-roh sebanyak tubuh hidup yang ada. Tidak hanya roh dalam binatang, tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu. Hal ini juga diterima dalam ilmu pengetahuan moderen. Semua roh tidak secara sama memilki kesadaran, ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah. Semaju apapun indria-indrinya, roh terbelenggu dalam pengetahuan y6ang terbatas; juga terbatas dalam tenaga dan mengalami segala jenis penderitaan.Tetapi setiap roh mampu mencapai kesadaran tak terbatas, kekuatan dan kebahagian. Mereka dihalangi oleh karma, seperti matahari dihalangi oleh awan. Karma dapat menyebabkan belenggu roh. Dengan menyingkirkan karma roh dapat memindahkan belenggu dan mendapatkan kesempurnaan alamiah.[28]
 Tiga cara menyingkirkan belenggu, yaitu keyakinan yang sempurna dalam ajaran-ajaran guru-guru jaina, pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut, dan perilaku yang benar. Perilaku benar terdiri atas praktek tidak menyakiti atau melukai seluruh makhluk hidup, menghidari kesalahan, mencuri, sensualitas, dan kemelakatan objek-objek indriya, mengkombinasikan ketiganya di atas, perasaan akan dikendalikan dan karma yang membelenggu roh akan disingkirkan. Lalu, roh mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas, pengetahuan tak terbatas, dan kebahagian yang tak terbatas. Inilah keadaan miksa menurut ajaran jaina. Hal ini telah dibukatikan oleh guru-guru dalam tradisi jaina atau Tirthankara. Mereka memperlihatkan jalan menuju moksa.[29]
7.      Tentang Metafisika
Di dalam aspek metafisikanya, jainisme mengambil posisi realistik dan pluralism relativistik. Ia disebut atau doktrin pluralistik realitas. Material dan spirit dipandang sebagai realitas-realitas yang independen dan terpisah. Terdapat atom-atom material yang tak terhitung jumlahnya dan roh-roh individu aspek-aspek dirinya yang juga tak terhitung jumlahnya. Sebuah benda mempunyai karakteristik yang tak hingga jumlahnya . setiap objek mempunyai karakter positif dan negative yang tak terhitung jumahnya. Adalah tak mungkin bagi manusia biasa untuk mengetahui semuanya itu. Kita hanya tahu sebagian kecil saja. Oleh karena itu, jainisme  mengatakan ia yang mengetahui semua sifat benda di dalam satu benda, mengetahui semua sifat semua benda, dan ia mengetahui semua sifat semua benda. Mengatahui senua sifat di dalam satu benda. Pengetahuan manusia, dengan melihat kapasitasnya yang terbatas , ia adalah relativ dan terbatas dan semuanya merupakan keputusan kita. Teori logika dan epistemologi Ajaran jaina ini disebut “syadvada”. Baik anekantavada maupun syadvada merupakan dua aspek dari ajaranyang sama –realistik dan prulalistik relativistik. Sisi metafisikanya bahwa realitas mempunyai karakter yang tak terhitung jumlahnya disebut anekantavada, sementara pandangan logika dan epistemologinya bahwa kita hanya dapat mengetahui beberapa aspek saja dari suatu realitas di dunia dan oleh karena itu keputusan-keputusan kita bersifat relativ, maka ia disebut syadvada dan ada tujuh golongannya:
1.     syadasti:secara relative, sebuah benda riil.
2.      Syannasti:secara relative, sebuah benda tidak riil.
3.      Syadasti nasty:secara relative, sebuah benda keduanya riil dan tidak riil.
4.      Syadavaktavyam:secara relative, sebuah benda tak bisadijelaskan.
5.     Syadasti cha avaktavyam:secara relative, sebuah benda riil dan tidak bisadijelaskan.
6.      Syannasti cha avaktavyam:secara relative, sebuah benda tidak riil dan tidak dapat di jelaskan.
7.      Syadasti cha nasty cha avaktavyam: secara relative, sebuah bendarill, tidak riil dan tidak bisa dijelaskan.
PRAKTEK KEAGAMAAN DALAM JAINISME
A.    Asketisme
Menurut jai nada dua motif melakukan kehidupan asketik, pertama bahwa kehidupan asketik dianggap sebagai salah satu macam atletikisme spiritual yaitu latihan spiritual para atlit menjelang pertandingan. Kedua, bahwa kehidupan asketik itu menempatkan prinsip serba dua antara materi dan spirit (jiwa). Alu mencari cara untuk membebaskan jiwa yang terkurung dalam daging.
Jainisme sangantmementingkan asketisme. Hal ini diandaikan sebagai perjuangan mahavira untu memperoleh pengetahuan agungng. Karena itu sifat asketik jainisme menjadi bgitu kstrim dan ketat.
B.     Etika penganut agama Jain
Masyarakat jainisme terdiri atas pendeta, biara dan orang kebanyakan. Hanya ada lima disiplin spiritual didalam jainisme. Di dalam kasus kependetaan disiplin ini benar-baner ketat, kaku dan sangat fanatik. Sementara dalam kasus orang umum hal itu bisa di modifikasi. Kelima sumpah disebut “sumpah besar” (maha-vrta), sementara bagi orang umum disebut ‘sumpah kecil’ (anu-vrta). Kelima sumpah tersebut adalah (1) ahimsa (non kekerasan), (2) satya (kebenaran di dalam pikiran), (3) asteya (tidak mencuri), (4) brahmacharya (berpantang dari pemenuhan nafsu baik pikiran, perkataan maupun perbuatan), dan (5) aparigraha (ketakmelekatan dengan pikiran, perkataan dan prbuatan). Dalam halo rang umum, aturan ini bisa di modifikasi dan disederhanakan.[30]
Untuk orang awam ada 12 atauran yang semula berasal dari aturan pendeta. Keduabelas aturan tersebut adalah
1.      Tidak pernah menyengaja melenyapkan kehidupan dari makhluk ang berorgan indra
2.      Tidak pernah berbohong
3.      Tidak mencuri
4.      Tidak berzina
5.      Tidak tamak
6.      Menghindari godaan-godaan
7.      Membatasi jumlah barang yang dipakai sehari-hari
8.      Menjaga hal yang berlawanan dengan usaha untuk menghindari dari kesalahan-kesalahan
9.      Menjaga periode-periode meditasi yang telah dicapai
10.  Mengamati periode-periode penolakan diri
11.  Memanfaatkan periode-periode kesempatan menjadi pendeta
12.  Member sedekah
Umat awam juga memegag prinsip ahimsa, dengan melakukan diet vegetarian dan selanjutnya melarang diri makan telor.
                                             

























DAFTAR PUSTAKA
1.      Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALI JAGA PRESS, 1988)
2.      Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, (Jakarta: al Husna Zikra), cet. lll, 1996
3.      I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, (Denpasar: Mabhakti, 2003)
4.      http://abid3011.blogspot.com/2011/04/agama-jaina.html diakses tgl 21 maret 2013
5.      Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html







                                                                                                                                     


[1] Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALI JAGA PRESS, 1988)h, 151
[2] Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, (Jakarta: al Husna Zikra), cet. lll, 1996, h 128
[3] Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, h. 152
[5] Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, h. 15153

[6] Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, diakses pada tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[7] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Hanindita offset, 1988, cet l, h. 151-152
[8] Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, diakses pada tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[9] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Hanindita offset, 1988, cet l, h. 151-152
[10] Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, diakses pada tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[11] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Hanindita offset, 1988, cet l, h. 151-152
[12] Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, diakses pada tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[13]. http://arifuddinali.blogspot.com/2011/12/jainisme.html.
[14] Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, h 140-141
[17] Ali, mukti, agama-agama di Dunia, h.15158-159
[18] Ibid, h. 159
[19] Ibid, h. 160
[20] Ibid, h. 162-163
[21] Ibid. h. 164
[22] Ibid, h. 164-166
[23] http://www.iloveblue.com/agama-jain/
[24] Ali, mukti, Agama-agama di Dunia, h. 167-169
[25] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, (Denpasar: Mabhakti, 2003), h 315-16
[26] Ibid, h. 316
[27] ibid
[28] Ibid, h. 18
[29] Ibid, h. 320
[30] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 319.